Netra


Dalam bahasa latin, manusia menyebutku spizaetus bartelsi alias Garuda. Burung yang menjadi symbol salah satu Negara demokrasi di asia tenggara—Indonesia, dan Thailand. Adapun, di Mongol, aku dijadikan symbol ibu kota Mongolia, Ulan Bator. Dominasi warna buluku coklat terang, pada bagian tepi sayapku terdapat warna gradasi abu ke hitam. Dan warna kuning terang pada kakiku selalu menjadi ciri khas—dengan cakar yang tajam, dapat mencengkram mangsaku, untuk bisa bertahan hidup sehari-hari.

Tak ada yang tahu hidupku tak seperti kebanyakan burung Garuda lainnya. Tapi aku juga tak tahu, apakah mereka masih ada atau tidak. Mm, selama aku terbang mengarungi nusantara, aku belum pernah merasakan semilir kepakan sayap dari sahabatku, yakni sesama garuda. Mungkin, mereka semua memang benar-benar sudah punah, tapi mungkin juga apa yang kurasakan akibat dari kesalahan pori-pori tubuhku yang salah membaca kepakan sayap mereka.

Spesies burung gagah yang selama ini kurasakan, tak pernah mau berteman denganku. Aku hapal kepakan sayap burung elang, burung hantu, burung gagak, burung wallet, burung gereja, dan burung-burung lainnya.

Ketika aku lahir, aku hamper saja langsung mati seketika—dan tentu saja, itu semua akibat dari lahirnya aku sebagai burung garuda yang teramat istimewa, dari burung garuda lainnya. Aku adalah garuda yang tak memiliki kepala, dan itu artinya aku tak memiliki jambul yang menunjukkan cirri khas garuda, tak memiliki paruh yang melengkung bagai arit, dan mata yang tajam untuk mencari mangsa. Aku bernafas lewat pori-pori tubuhku ketika mengepakkan sayap, aku makan lewat alat kelaminku walau rasa makanannya selalu tak enak karena bercampur dengan…ah, sudahlah—rasanya tak pantas jika aku harus menyebutnya.

Kau tahu, kenapa aku masih hidup hingga dewasa? Jawaban yang mudah sebenarnya: aku dibawa terbang oleh ibuku. Naluri seorang ibu tak pernah meleset, walaupun ia sebenarnya tak ingin aku lahir dengan keadaan seperti ini: Tanpa kepala. Ibu berjuang sekuat tenaga, ia selalu terbang agar aku tetap hidup, agar aku bisa merasakan udara yang masuk melalui pori-pori tubuhku—hingga pada akhirnya aku menjelma menjadi burung garuda yang gagah! Perkasa!

Walaupun tanpa kepala.

1/

Saat umurku menginjak 7 bulan, aku mulai diajarkan terbang. Itu artinya, aku takkan menyusahkan lagi Ibu yang selama itu tak pernah berhenti mengepakkan sayapnya mengarungi angkasa agar aku bisa bernafas. Terkadang aku bisa merasakan Ibu sangat keletihan karena tak pernah hinggap di ranting pohon atau di puncak bebatuan untuk terjun dari atas seperti gantole.

Ibu benar-benar mengajarkanku arti kehidupan. Aku bisa merasakan dari caranya menyentuh sayapku, menariknya perlahan, melepaskan cengkraman cakarnya dari tubuhku—dan WUFF!—sayapku merentang.

Tapi aku termasuk burung yang bodoh, karena ketika ibu melepaskan cengkraman tangannya, aku malah berputar-putar di angkasa, lalu meluncur ke bawah—meluncur deras layaknya meteor yang terbakar oleh atmosfer, dan akhirnya terpaksa Ibu mengambil tubuhku lagi untuk dibawa terbang.

Ada perjuangan dalam hidupku bersama Ibu, hari itu. Selama seratus percobaan aku diajari terbang—semua berakhir gagal.

2/

Pada hari kedua, aku mulai sadar: kenapa aku tak bisa terbang? Kemarin, Ibu selalu berusaha memberitahuku lewat tepukan sayapnya pada kakiku. Aku tahu ia berusaha bicara padaku, namun ia bingung harus seperti apa memberitahunya. Yang kurasakan hanya tepukan yang terkadang pelan dan terkadang keras, sambil mengangkat kakiku naik-turun. Aku tak tahu artinya! Aku bingung!

Hari ini aku memutuskan, kalau aku harus punya alat komunikasi, bagaimanapun caranya agar bisa berbicara dengan Ibu. Agar aku bisa terbang, dan tak lagi menyusahkan Ibu—dan dari tepukan Ibu kemarin, aku punya ide—kalau aku harus menciptakan bahasa.

Dalam waktu singkat, aku sering sekali menepuk-nepuk kaki Ibu. Kadang dengan sentuhan pelan, keras, berirama, lambat, berayun-ayun, hingga membuat symbol-simbol di perutnya seolah membuat isyarat.

Kode rahasia!

3/

Dalam waktu satu bulan, Ibu akhirnya menerima bahasaku. Alat komunikasi resmi ciptaanku, bersama Ibu. Kami berdua menciptakan sandi morse ala kami berdua. Tak pernah ada yang tahu! Bahkan manusia mungkin takkan percaya, seperti mereka tak percaya kalau aku ini benar-benar ada. Ibu menceritakan banyak kisah tentang seekor burung hebat yang lahir dengan berkekurangan, namun bisa menonjolkan kekurangannya itu menjadi kelebihan, lewat bahasa symbol di tubuhku. Ia membicarakan burung phoenix yang tubuhnya penuh api. Aku tahu kisah itu digunakan Ibu agar aku bersemangat untuk bisa terbang dengan kekuranganku ini.

Dari alat komunikasi itu, semua masalah tentang ‘kenapa aku tak bisa terbang?’ terpecahkan—ternyata aku selalu menyilangkan kakiku, dan itu artinya aku tak bisa terbang. Tebak saja sendiri: burung mana yang bisa terbang dalam keadaan kaki menyilang, seolah terikat?

Dari kesalahanku itu, aku akhirnya bisa benar-benar terbang. Aku bisa merasakan nafas yang sempurna lewat sebuah kepakan sayap yang sempurna. Lewat kepakan sayap selanjutnya, aku bisa merasakan bulu tubuhku bergoyang-goyang—dan yang terpenting—aku bisa melepaskan Ibu dari penderitaannya.

Ibu akhirnya terbang di sampingku, aku bisa merasakan kepakan sayapnya sekarang terasa lebih ringan karena tak harus lagi mengangkatku. Aku bisa merasakan kalau pandangannya kini sekarang sedang melihat: betapa senangnya ia, karena akhirnya aku bisa terbang, dan tak lagi menyusahkannya.

Hari ini adalah hari terindah dalam hidupku.

Keesokanharinya, giliran aku terbang sendiri tanpa henti. Aku memerintahkan Ibu beristirahat, berdiri di atas ranting, atau bergaya di puncak bukit bebatuan mungkin bisa membuat pikirannya kembali segar. Aku sekarang sudah bisa terbang, atau bisa dibilang: aku sudah dewasa.

4/

Tapi…satu minggu kemudian, aku dibuat resah oleh Ibu. Ia tiba-tiba hinggap di pundakku dengan keadaan tak bertenaga. Suhu tubuhnya panas, jambulnya terasa layu, sayapnya melemas, dan ia berusaha sekuat tenaga memberi tahu aku kenapa ia seperti itu.

Ibu perlahan mengayunkan sayapnya, membentuk ketukan kecil di tubuhku, membuat symbol-simbol, dan membentuk sebuah percakapan seperti yang biasa kita lakukan, berdua.

“Netra, cepat pergi. Phoenix telah datang! Phoenix telah datang!” dari hasil terjemahanku, Ibu berkata seperti itu. Entah kenapa, bulu kudukku merinding sekaligus tegang, karena terkejut. Aku membalas membuat bahasa lagi di tubuhnya.

“Ibu jangan bercanda? Ibu kenapa?” aku membuat symbol dengan cepat.

“Sudah, jangan banyak bicara. Terbanglah setinggi mungkin, Phoenix takkan mampu menggapaimu kalau kau terbang tinggi.” Aku merasakan ada cairan yang merembes dari tubuh Ibu, meresap kedalam tubuhku.

Itu darah! terkaku

“Ibu kenapa? Apa phoenix itu benar-benar ada?”

“Sudah cepat! Ayo terbang ke atas! Terbang lebih tinggi!” Ibu mengangkat kepalaku ke atas. Jujur, ketukan sayap ibu Nampak berbeda. Aku agak sulit menerjemahkannya. Dengan sekuat tenaga, aku terbang lebih tinggi. Mengabulkan permohonan Ibu.

Dalam perjalanan terbang lebih tinggi, aku merasa keberatan. Tubuh Ibu jelas lebih berat dari tubuhku. Ditambahlagi pernafasanku terhalang darah ibu yang semakin banyak. Aku tak mau ada apa-apa dengan Ibu. Ia butuh pertolongan….tapi siapa yang mau menolong Ibu? Untuk meminta pertolongan, dibutuhkan komunikasi antar burung yang lainnya, dan yang mengerti bahasaku hanyalah Ibu. Aku bingung.

Darah Ibu semakin merembes. Nafasku menjadi sesak. Ibu dapat merasakan tubuhku menjadi lemas, dan perlahan sayapku tak bisa mengepak dengan sempurna. Ia tahu. Ibu merasakan apa kesulitan yang anaknya ini rasakan.

Dalam hitungan detik, aku merasakan ada hawa panas yang melesat dari bawah kakiku, melewati melewati bulu perutku. Panas sekali, hingga membuat bulu tubuhku menterjemahkan, kalau itu adalah burung yang Ibu katakan.

Burung Phoneix!

Tidak…tidak…ini tidak mungkin! Burung phoenix hanya ada di dalam dongeng Ibu saja. Burung phoenix tidaklah benar-benar nyata. Aku yakin tadi hanyalah perasaanku saja. Aku yakin itu bukanlah burung phoenix!

Wush!

Kali ini sayap kiriku yang merasakan hawa panas itu! Aku merasakannya dua kali! Ibu memang pernah bilang, kalau kecepatan burung phoenix sulit dibaca. Ia sungguh cepat, dan yang bisa mengalahkannya hanyalah kecepatan cahaya matahari. Tidak! Aku tak mau mati sekarang. Aku baru merasakan terbang kurang dari seminggu. Aku baru merasakan indahnya membahagiakan Ibu—dan aku tak mau apa yang selama ini Ibu perjuangkan pergi begitu saja. Aku harus menolong ibu!

Dengan sekuat tenaga aku mengepakkan sayapku. Lebih keras, lebih kencang, dan lebih kuat.

Wush! Wush!

Kurasa burung ada dua burung phoenix yang menyerang. Satu burung phoenix berhasil membuat Ibu lepas dari pundakku—dan satu burung phoenix lagi, berhasi menebas kakiku, hingga aku hilang keseimbangan. Ibu terlepas dari tubuhku. Aku bisa merasakan sayapnya berputar-putar seperti ketika aku jatuh saat belajar terbang. Pun tubuhku juga berputar-putar sama, karena tak ada daya dari satu kakiku yang telah lumpuh. Dengan kecepatan yang perlahan menjadi cepat, tubuhku terhempas ke tanah. Ber-gedebum. Nafasku sesak. aku tak mampu bernafas.

J J J

5/

Aku akhirnya bisa melihat setelah aku mati. Aku merasakan punya kepala, mendengar dengan normal, dan bisa melihat sosok phoenix itu seperti apa.

Rupanya phoenix keluar dari senapan yang di genggam manusia. Hebat!